Rabu, 14 Juli 2010

KOMUNITAS TEENLIT

KUMPULAN NOVEL REMAJA

Teenlit merupakan sebuah perkembangan baru yang cukup penting dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Dalam perkembangannya teenlit telah menciptakan ‘dunia’nya sendiri mulai dari penulis, pembaca, percetakan, pasar hingga juga melahirkan komunitas-komunitas penggemar yang cukup fanatik. Perkembangan tersebut merupakan sebuah fenomena kebudayaan yang harus di’baca’ dan dicatat karena barangkali dapat memperkaya pengalaman kesusastraan kita yang selama ini masih berkutat pada polemik seputar sastra dan masyarakat.

Teenlit atau biasanya ditulis Teen-Lit merupakan kependekan dari Teen Literature. Dari namanya saja kita tahu bahwa teenlit merupakan genre sastra yang banyak dikonsumsi oleh kaum muda, khususunya perempuan. Teenlit terkadang juga disebut Chick-Lit. Kedua istilah tersebut sebenarnya mengacu pada sebuah genre yang sama. Adapun perbedaan keduanya sangatlah tipis, yaitu jika teenlit ditulis oleh dan untuk kaum remaja sekolahan dan anak-anak ABG maka chicklit lebih berorientasi ke pasar wanita muda, dewasa, mandiri, karir dan lajang (atau katakanlah wanita komopolit).

Teenlit atau chicklit dapat dikenali dengan mudah, seperti yang bisa kita lihat di toko-toko buku semacam Gramedia. Di sampul depannya, biasanya tertera tulisan kecil “ChickLit” atau “TeenLit”. Warna-warna yang digunakan biasanya adalah warna-warna yang mencolok yang menggambarkan keremajaan, keceriaan dan hidup yang penuh dengan warna-warni ala kaum remaja. Kita tidak akan menemui sampul buku yang berwarna kelam, sepi dan serius ala novel-novel serius yang selama ini menghuni toko-toko buku. Judul-judul yang digunakan pun menonjolkan sifat keremajaan yang santai, tidak serius, dan tentu saja harus bahasa yang sehari-hari. Judul-judul tersebut menggambarkan tema-tema keremajaan (kemudaan). Sebut saja seperti Me versus High Heels (Aku vs Sepatu Hak Tinggi), Fashionista, Dealova, Cintapuccino dan Confessions of a Shopaholic (Pengakuan si Gila Belanja).

Dalam teks atau isi di dalamnya, teenlit biasanya menggunakan ukuran font yang cukup besar. Lebih besar dibanding ukuran font dalam novel-novel biasanya. Di samping itu, ciri yang paling penting dari teenlit adalah bahasa yang digunakan merupakan bahasa gaul, yaitu bahasa sehari-hari yang sering dipakai di kalangan anak muda. Demikianlah kira-kira beberapa karakteristik yang menonjol dari teenlit. Karakteristik tersebut bias jadi menjadi penyebab semakin digemari teenlit oleh masyarakat khususnya kaum muda. Bahkan beberapa judul teenlit telah diangkat di layar lebar, sebut saja Dealova, Cintapuccino, dan beberapa judul lain. Beberapa catatan seperti yang dicatat menyebutkan bahwa "Cintapuccino" dalam sebulan saja sudah harus dicetak tiga kali dan terjual 11.000 eksemplar sejak diluncurkan, sedangkan "Dealova" sejumlah 10.000 eksemplar, juga setelah sebulan dirilis; "Fairish" yang sampai 2005 sudah terjual 29.000 eksemplar. Belum lagi beberapa judul baru yang kian menjamur di toko-toko buku di Indoenesia. (Lihat catatan R.S. Kurnia dalam tulisannya yang berjudul Teenlit ebagai Cermin Budaya Remaja Perkotaan Masa Kini yang diposting di http://pelitaku.sabda.org/teenlit_sebagai_cermin_budaya_remaja_perkotaan_masa_kini)

Beberapa pengamat sastra mengatakan bahwa teenlit merupakan perkembangan sastra yang berakar dari Barat. Dikatakan bahwa lahirnya genre baru bernama teenlit ini dipelopori novel Bridget Jones’s Diary yang ditulis oleh Helen Fielding yang juga sudah difilmkan. Novel setebal 271 halaman itu memang merupakan sebuah fenomena. Buku tersebut, menurut ABCNEWS, sempat meraup lebih dari $71 juta Dollar atas penjualannya! Demikianlah sejarah kecil teenlit yang bisa kita baca. Sedikitnya referensi tentang teenlit Indonesia bisa kita maklumi dikarenakan sifat kebaruan teenlit atau chicklit itu sendiri.

Sebagaimana halnya pendatang baru yang sangat fenomenal, teenlit tidak terlepas dari polemik atau kontroversi yang mengikuti perkembangannya. Beberapa pihak mendukung sedang sebagian lagi menggugat keberadaannya. Pihak pertama beragumentasi bahwa teenlit merupakan sebuah perkembangan yang wajar dikarenakan kebebasan berekspresi yang semakin dijamain oleh negara terlebih di era pasca reformasi. Sedang pihak kedua memandang teenlit sebagai ‘bukan sastra’. Pihak kedua ini biasanya berasal dari kalangan kritikus sastra yang selama masa periode pra-reformasi berkutat dengan karya-karya sastra serius (meskipun soal serius atau tidak serius ini sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat subjektif-positivistik, sesuatu yang sudah ditinggalkan dalam ere posmodern seperti sekarang ini). Golongan kedua ini biasanya adalah penguasa status quo dalam rezim sastra Indoenia, tidak hanya kritikus, juga kalangan penulis dan juga penerbit. Akhirnya, perdebatan seputar kehadiran teenlit tidak bisa lepas dari polemik besar dalam kesusastraan kita yaitu hubungan antara sastra dan masyrakatnya.

Sastra dan Masyarakat
Ketegangan hubungan antara sastra dan masyarakat merupakan masalah pokok dalam sosiologi sastra. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S.U (2005:283) dalam Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta bahwa masyarakat sebagai masalah pokok sosiologi sastra dapat digolongkan ke dalam tiga macam; (1) masyarakat yang merupakan latar belakang produki karya, (2) masyarakat yang terkandung dalam karya, dan (3) masyarakat yang merupakan latar belakang pembaca.

Ratna (2005:284) melanjutkan, masyarakat pertama dihuni oleh pengarang, keberadaannya tetap, tidak berubah sebab merupakan proses sejarah. Masyarakat yang kedua dihuni oleh tokoh-tokoh rekaan, sebagai manifestasi subjek pengarang. Oleh karena itu, keberadaannya memiliki dua dimensi yang berbeda. Di satu pihak, sebagai bentuk fisik, sebagai naskah bersifat tetap, sedangkan di pihak lain sebagai kualitas psike, sebagai teks berubah secara terus menerus. Masyarakat terakhir dihuni oleh (para) pembaca. Sebagai proses sejarah keberadaannya sama dengan masyarakat pertama. Perbedaannya, masyarakat pembaca berubah sebagai akibat perubahan pembaca itu sendiri, yang berganti-ganti sepanjang zaman. Ketiga macam masyarakat seperti yang dikemukakan tersebut, dalam tulisan ini, yang akan digunakan untuk memotret hubungan antara sastra teenlit dan masysrakat yang melahirkannya, masyarakat yang dituliskannya, dan masyarakat yang membacanya.

Perkembangan sosisologi sastra tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dalam teori-teori sastra sendiri. Diawali dari keruntuhan teori strukturalisme yang dibangun oleh Ferdinand de Saussere dan yang telah dikukuhkan dengan meta-strukturalisme (atau yang juga disebut sebagai meta-narasi) oleh Levi-Strauss. Strukturalisme menobatkan bahwa ada struktur yang berpola universal di dunia ini. Bahwa sebuah tanda hanya terdiri dari penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda diandaikan tidak mempunyai sebuah ‘nomenclature’, yaitu semacam acuan ke realitas objektif. Dalam bahasa, sebuah bahasa diandaikan hanya terdiri dari dua hal, yaitu langue (pengetahuan dan kemampuan bahasa) dan parole (perwujudan langue pada individu).

Gagasan sstrukturalisme ini tidak dapat dipertahankan lagi setelah didobrak oleh gagasan post-strukturalisme. Beberapa gagasan post-strukturalisme (dan posmodernisme) dapat disebutkan di sini; semiotika Pierce yang mengakui adanya interpretant—sebuah acuan raealitas objektif di luar penanda dan petanda, dekontruksi yang dikumandangkan oleh Derrida yang mengakui adanya ‘aphoria’ (undecidebility)---semacam sesuatu yang tak terumuskan yang tak terduga yang bisa saja datang di luar penanda dan petanda, dan juga Foucault dengan relasi pengetahuan dan kuasa. Bagi Foucault khususnya, sebuah struktur bukanlah hanya sebuah struktur, melainkan adalah sebuah struktur yang dibangun oleh kepentingan pihak-pihak tertentu (siapa), kepentingan tertentu (apa), dan di sebuah ruang tertentu (dimana).

Kemerdekaan Sastra Indonesia
Dalam perspektif sosiologi sastra seperti yang dituturkan di atas, polemik sastra teenlit menemukan momentumnya karena lahir di era keterbukaan pasca reformasi. Banjirnya produki sastra teenlit bisa jadi merupakan sebuah gelombang perayaan kebebasan dari belenggu sensor rezim-rezim yang selama pra-reformasi menguasai ruang-ruang kebebasan berkepresi di tanah air. Bisa jadi rezim tersebut adalah rezim politik, yaitu rezim orde baru yang dikenal dengan pola represifnya dalam memberangus kebebasan berekspresi. Juga, bisa jadi berupa rezim sastra yang selama ini menguasai ruang-ruang publik kebudayaan dalam khasanah kesusastraan Indoenesia.

Sebut saja, pusat-pusat kebudayaan semacam Taman Ismail Marsuki (TIM) di Jakarta, (para) redaktur sastra di koran-koran nasional, kritikus-kritikus sastra dari departemen sastra di perguruan tinggi terkemuka, (para) sastrawan terkemuka yang sudah terlanjur mempunyai reputasi nasional, dan masih banyak lagi pihak-pihak yang merasa paling memiliki (menguasai) sastra Indonesia.

Tulisan ini tidak hadir untuk membela apalagi mempromosikan sastra teenlit di Indonesia. Lebih tepatnya, tulisan ini tidak ingin masuk ke dalam polemik tentang isi/substansi dari gambaran masyarakat yang dilukiskan dalam novel-novel teenlit yang ada sekarang (masyarakat golongan kedua—menurut Ratna). Melainkan tulisan ini hanya ingin menjadikan polemik sastra teenlit ini sebagai tonggak baru kebebasan (kemerdekaan) masyarakat yang melahirkan karya sastra (golongan pertama) dan kebebasan masyarakat pembaca (golongan ketiga) di pentas sastra Indonesia. Dengan demikian, kemerdekaan masyarakat sastra tersebut dapat menjadin picu lahirnya sastra-sastra alternatif yang lebih kaya dan lebih tak terduga di luar ‘mainstream’.

Akhirnya, lahirlah apa yang diimpikan sebagai demokratisasi sastra di Indonesia. Meskipun kita tahu selalu ada bahaya laten yang mengintai di setiap demokrasi yang berpotensi membunuh demokrasi (dan ujung-ujungnya---kebebasan) itu sendiri; kapitalisme? Tentu tulisan yang ada di hadapan pembaca ini merupakan sebuah tulisan yang belum selesai.

KOMUNITAS TEENLIT

TEENLIT

KUMPULAN NOVEL REMAJA MASA KINI